Oleh : Grattiana Timur
Fenomena penggunaan media publik untuk kampanye politik sangat massif dilakukan dalam Pemilu Legislatif dan Pilpres 2014 ini. Penyebab fenomena itu adalah afiliasi partai politik dengan pemilik media frekuensi publik.
Fakta menarik itu disampaikan oleh CIPG dan Remotivi dalam seminar dan diskusi yang bertajuk “Politisasi Media” Jumat (24/10) dalam rangkaian acara Jagongan Media Rakyat (JMR) 2014.
Muhammad Heychael, Koordinator Divisi Penelitian Remotivi mengatakan, pada pemilu sebelumnya belum pernah ada pemilik media yang menjadi calon presiden dari suatu partai politik tertentu.
Menurut dia, salah satu fakta yang mendasari fenomena tersebut adalah hasil penelitian tentang pemilu sebelumnya, yang menyatakan bahwa pemenang pemilu adalah mereka yang paling banyak muncul di televisi. Berdasarkan data yang dikumpulkan Remotivi terkait fenomena keterkaitan media dan politik, ada kecenderungan perubahan pemberitaan terhadap capres tertentu ketika terjadi perubahan koalisi. “Di TV One sebelumnya sama sekali tidak ada pemberitaan positif tentang Prabowo. Tetapi setelah Bakrie berkoalisi dengan Gerindra, pemberitaan meningkat menjadi 52 persen,” tutur Heychael.
Ria, salah satu peneliti Centre for Innovation Policy & Governance (CIPG) mengungkapkan bahwa kampanye politik di media televisi dilakukan di tiga lini, yaitu pemberitaan, iklan politik dan program non berita. Menjelang pemilu, semua lini tersebut dimanfaatkan untuk melakukan kampanye politik. “Mereka memanfaatkan celah dari undang-undang,” ujar Ria.
Hal ini jelas merugikan publik sebagai pihak pemilik frekuensi. Apa yang disajikan media tidak berorientasi untuk kepentingan publik melainkan kepentingan partainya. Isu publik pun diabaikan karena substansi berita lebih banyak untuk kepentingan kampanye. “TV dalam hal ini gagal menghadirkan pemberitaan yang berperspektif publik,” ungkap Heychael.